Last
Meeting Theory
Kata orang, kita tidak akan
pernah tahu kapan sebuah pertemuan akan menjadi yang terakhir kalinya. Theori
itu seolah menampar kehidupanku satu per satu.
Ia,
pertemuan terakhir- tak pernah datang dengan aba-aba, tetapi ia datang
selayaknya hari biasa,
-yang kemudian menjadi penyesalan yang luar biasa.
Bagian Satu, Mama.
Tahun lalu, saat Ramadhan
aku pulang. Ku pikir, itu akan cukup untuk menggantikan momen lebaran.
Ku pikir, tiga hari
menghabiskan waktu bersama akan cukup untuk mengisi rindu. Ku tawari dia ini dan itu, namun ia tak mau. Ku turuti maunya, lalu kembali pulang -ke rantauan, sambil membawa ijin
akan sebuah hobi, yang tadinya tak ia percayai.
Andai
aku tahu bahwa itu lebaran terakhir bersamanya,
Mungkin aku akan pulang, tak peduli tentang
apapun kendalanya.
Ada sedih,
karena tak cukup waktu untuk benar-benar mencintai dengan cara yang mama
butuhkan. Tapi ada juga Syukur, karena sebelum semuanya berakhir, aku sempat
membawa hobiku pada restunya.
Dan
hari ini, aku berjalan -meski mungkin terlambat,
Tapi aku
tetap membawa api yang dulu sering ku ceritakan pada mama.
Api
itu belum padam, meski sebagian hatiku sudah terbakar dan menjadi abu bersama
kepergian mama.
Ma, maafkan aku yang terlambat tumbuh ya,
Tapi insya allah mah, aku akan terus
hidup,
Demi harapan yang pernah ku kobarkan
kepada mama.
Bagian Dua, Tentang Dia yang Kutemui di
Sebuah Pulau
Aku datang kepadanya,
menempuh jarak dan membawa harapan.
Ingin berbicara, ingin
menyambung sesuatu yang hampir putus
-setidaknya menurutku.
Tapi, pada malam itu, aku
hanya mampu mengisinya
dengan hal-hal yang ringan;
Teh manis, ayam goreng, dan
bau dupa yang menyelinap masuk.
Masih ada esok, pikirku.
Nyatanya,
esok tak datang.
Ia
tak pernah kembali untuk membicarakan,
Tak
pernah memberi ruang, untuk pada akhirnya kita benar-benar bicara.
Mungkin ia tahu, aku sudah cukup dekat
-dengan keputusan untuk menyerahkan kehidupanku.
Mungkin ia sadar, aku sedang berdiri di batas antara cinta
dan iman.
Tapi, apa
salahnya jika aku ingin tetap berpijak pada keyakinanku
sambil tetap ingin
merangkul tangannya?
Setelahnya ia tak kembali.
Tak menyisakan apapun untuk dibicarakan,
Hanya keheningan menyisakan tanya.
Dan kehilangannya adalah kematian pertamaku.
Lalu mama, arti keluarga,
dan setelahnya kehilangan kepercayaan akan arti cinta.
Kadang aku bertanya, kalau saja aku
tetap bersamanya, mungkin aku tak perlu terluka seperti setelahnya?
Tapi ya, semua sudah begini jalannya.
Aku dan dia selesai di sana.
Bagian Tiga, Tentang Seseorang yang Penuh Kata Tapi Kosong Tindakan
Dia hadir dengan kata-kata yang membuatku merasa cukup,
Tapi ternyata, cukup tak pernah hadir baginya.
Ia datang dengan wajah yang sangat meyakinkan,
Membawa kalimat-kalimat yang mengisi ruang kosong dalam
diriku.
Aku terlalu baik baginya, -katanya
Ia takut menjadi pengaruh buruk bagiku, -katanya
Ia takut melukaiku lebih jauh, -katanya
Lalu ia pergi, meninggalkan luka yang lebih tajam dari semua
kata-katanya.
Kenyataannya
pun berkata lain.
Saat
ia bilang ingin sendiri, ternyata ia sedang membuka pintu pada dunia yang tak
pernah ia ajak aku untuk masuk kedalamnya.
Ia
ingin sebuah tenang, tapi bukan untuk merenung -melainkan untuk kembali mencari, seolah aku tak
pernah cukup untuknya.
Dan sekarang, aku mulai bertanya-tanya;
Mana yang benar dari semua yang pernah dia ucapkan?
Apakah peluknya itu nyata?
Atau sekedar peran dari kisah yang tak pernah berniat untuk dia
tamatkan?
Andai bisa, aku ingin lupa -bukan hanya pada namanya,
tapi juga lupa tentang bagaimana aku bisa percaya, pada
sosok yang akhirnya memberiku trauma.
Aku pernah mengira,
bahwa jatuh cinta padamu adalah penyembuhanku.
Nyatanya, itu adalah
racun yang diam diam menggerogoti diriku.
Akhirnya
Last Meeting Theory mengajarkanku;
Bahwa pertemuan terakhir tak
selalu memiliki penanda.
Kadang ia menyamar menjadi
malam yang biasa,
Menjadi percakapan yang
ringan,
Menjadi tawa yang
dikeluarkan,
Atau menjadi perpisahan
yang tak akan pernah sempat diucapkan.
Namun, aku belajar; Bahwa
meski hati ini pernah remuk berkali-kali,
Aku masih tetap berjalan, pun masih
juga bernapas, dan anehnya, aku masih saja percaya -pada hal-hal yang
sebenarnya tak ingin ku percaya.
Meski akhir cerita tak selalu indah,
Aku akan tetap menulisnya kedalam sebuah cerita,
Agar suatu saat nanti aku bisa membaca, dan lalu berkata:
“Aku
pernah mencintai sebaik ini, meski tak selalu berakhir baik, aku tetap memilih untuk
menjadi baik, dan terus hidup.”
Komentar
Posting Komentar