Last Meeting Theory Kata orang, kita tidak akan pernah tahu kapan sebuah pertemuan akan menjadi yang terakhir kalinya. Theori itu seolah menampar kehidupanku satu per satu. Ia, pertemuan terakhir- tak pernah datang dengan aba-aba, tetapi ia datang selayaknya hari biasa, -yang kemudian menjadi penyesalan yang luar biasa . Bagian Satu, Mama. Tahun lalu, saat Ramadhan aku pulang. Ku pikir, itu akan cukup untuk menggantikan momen lebaran. Ku pikir, tiga hari menghabiskan waktu bersama akan cukup untuk mengisi rindu. Ku tawari dia ini dan itu, namun ia tak mau. Ku turuti maunya, lalu kembali pulang -ke rantauan, sambil membawa ijin akan sebuah hobi, yang tadinya tak ia percayai. Andai aku tahu bahwa itu lebaran terakhir bersamanya, ...
2017 akhir aku putuskan untuk merantau lagi. Setelah tahun sebelumnya gagal dalam 6 bulan merantau dan di serang berbagai penyakit, mulai dari rindu rumah, mag tiada membaik, insecure mendarah daging dan penyakit people pleasure yang bersarang di anak yang belum genap berusia 18 tahun yang nekat hidup sendiri tanpa perencanaan yang matang dan tidak mau meminta bantuan. Beberapa alasannya masih sama, mengejar cinta masa remajanya, mengejar hidup bebas tanpa aturan di sekitarnya, dan berlari menuju tempat yang sepi untuk menghidupi jiwanya. Naif memang, karena sejauh apapun dia berlari dunianya tidak pernah sepi. Ramai akan selalu menetap di dalam kepalanya. Sehening apapun keadaan sekitar, tak akan ada damai yang dia capai. Tetapi dia tetap melakukannya. Karena dia memang sungguh se-naif itu. Sebelum dan sesudahnya tiada henti dia selalu berterimakasih kepada seseorang yang pada akhirnya membuat dia mempunyai tekad sebulat ini. Ralat, tekadnya memang selalu bulat, nekat adalah ciri hidu...